Sunday, October 21, 2012

Eksotisme Pulo Aceh Diantara Jejak Portugis


Pulau (Pulo) Aceh, terletak paling Utara Selat Malaka dan Paling Barat Samudera Hindia Indonesia, secara administratif Pulo Aceh masuk di dalam salah satu Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar. Di sekililing Pulo Aceh terdapat pulau-pulau kecil lainnya yang tidak berpenghuni. Untuk mencapai Pulo Aceh, harus menumpang boat nelayan ikan, satu-satu transportasi laut untuk menuju Pulo Aceh, perjalanan bertolak dari lampulo Kota Banda Aceh menempuh waktu 3 atau 4 jam tergantung kondisi cuaca.

Dalam perjalan laut, kami sedikit terganggu dengan kondisi cuaca angin kencang yang menyebabkan gelombang laut tinggi. Iya, mau tidak mau saya di hadapkan pada pilihan mengadu nyali dengan menantang ganasnya gelombang laut. Cukup mengocok seluruh isi perut, dengan muka pucat terbesit dalam hati apakah ini hari terakhir saya hidup di muka bumi ini atau mati di telan ganasnya gelombang laut, bahkan beberapa saat kemudian gelombang laut makin tinggi, tiap sepuluh menit sekali, pawang boat memeriksa lambung kapal biar tidak kemasukan air laut.
Perjalanan Laut ke Pulo Aceh

Namun setelah beberapa jam kemudian mulailah terlihat gugusan-gugusan pulau-pulau kecil yang hanya di huni jin-jin beranak, pemandangan ini membuat kegelisihan saya mulai berkurang.
Ketika perjalanan mau sampai, pawang boat sambil tersenyum memberi tau bahwa boat kelebihan muatan di dalamnya berton ton minyak tanah, semen, dan beras. bahkan merekapun sedikit merasa was -was dengan kondisi gelombang laut tadi.
Ini adalah pengalaman pertama saya mengunjungi Pulo Aceh, dan saya langsung jatuh cinta dengan lokasi serta pemandang laut biru nun indah.

Pulo Aceh harus bangga dengan menyimpan beragameksotisme yang bisa menyihir siapa saja, di mulaidari keindahan alamnya, keindahan kaki-kaki gunung, tepi-tepi pantai serta birunya gelombang laut lepas Samudera Hindia, Apalah daya semuanya ini adalah kelebihan yang belum mendapatkan perhatian untuk di kembangkan menjadi industri wisata. Kini saya hanya dapat melihat eksotisme Pulo Aceh bertahta abadi sambil bercumbu bersama ombak-ombak Samudera Malaka dan Hindia sambil menunggu waktu punahnya keabadian duniawi.
Menara Mercusuar Williams Torren III

Namun sayang, saya tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati birunya laut Pulo Aceh, maklum pada saat itu gelombang laut akibat cuaca yang kurang bersahabat terlalu berbahaya untuk berenang. padahal segala perlengkapan renang seperti, masker selam ,snorkel dan Fins sudah saya persiapkan sebelum keberangkatan. 
Pose dengan Latar Bangunan Tua
Selain berenang di Pulo Aceh, tujuan utama saya adalah mencapai puncak menara Mercusuar Williams Torren III atau William Alexander Paul Frederick Lodewijk (1817-1890) yang di bangun oleh kolonial Belanda 1875 semasa penjajahan Aceh. Walaupun usianya mencapai satu setengah abad, Mercusuar Williams Torren masih tetap kokoh berdiri menghadap samudera Hindia, biarpun gunjangan gempa 9,7 Skala Righter 2004 menguncangnya tujuh tahun lalu. Selain Mercuasuar, beberapa meter di sampingnya terdapat bangunan Loji panjang tempat para Perwira Belanda berdansa dulu dan  bangunan berisi bungker bawah tanah yang sudah tidak terawat.
Setelah menikmati secangkir kopi di Desa Meulingge, jarum jam menunjuk pukul 20.00 setelah melapor pada kepala desa, saya bersama beberapa kawan melanjutkan perjalanan selama satu jam lebih di malam buta dalam hutan belantara Pulo Aceh merupakan suatu kebanggaan buat saya, tepatnya jam 20.55 WIB di bawah rintik-rintik hujan kamipun berjalan mendaki tanjakan berbatuan dan tikungan yang berbahaya, bahkan sebagian mendorong motornya.

Teras Puncak Mercusuar
Puncak Williams Torren kami taklukkan, satu persatu anak tangga saya naiki. Terlihat beberapa anak tangga telah copot. Ketika mencapai puncak menara yang berketinggian 85 meter ini mengobati lelahnya perjalanan di malam buta, berdiri di bagian teras puncak Mercusuar yang di kelilingi terali besi bercat merah tua, suara hembusan angin begitu kencang. sungguh hal yang luar biasa, pemandangan semesta alam terlentang di depan mata, ketika saya berdiri di tepi pagar teras sambil menggenggam pembatas, melihat kebawah seakan-akan terasa jantung saya copot. Kekhawatiran saya sangat berlebihan ketika membayangkan tiba-tiba ada gempa mengguncang dan merobohkan menara ini.
Lampu Mercusuar Williams Torren III
Melihat di kejauhan nampak beberapa cahaya lampu kapal-kapal nelayan yang mencari ikan dan kerlap kerlipnya lampu Pulo Weh Sabang.
Ketika genggaman tangan saya lepaskan pada pagar pembatas sambil melentangkan tangan ke udara saat itu pula mengingatkan saya pada salah satu adegan di film Titanic yang di perankan oleh Jack (Leonardo DiCaprio) dan Rose (Kate Winslet) berdiri di ujung kapal pesiar sambil melentangkan kedua tangan ke udara. Oh, begini ya rasanya hahahaa.
Mercusuar dilihat dari Penjara
Setelah puas berputar-putar melihat pemandangan, saya pun mengambil trianga memasakkan air, menikmati pemandangan alam bertabur bintang dengan menikmati teh dan indomie rebus sambil bengong sangking terpesonanya dengan keindahan langit yang penuh bintang, menikamti keindahan laut adalah hal yang sangat menyenangkan pada malam hari, apalagi ada teman saya menikmati keindahan alam dengan menghisab Ganja entah dari mana ia dapatkan.
Berada di puncak paling tinggi sambil menghisap ganja seolah-olah kita sedang berada di dunia lain, begitu kata teman.
Jam pun beranjak pukul 02 pagi, sayapun mengambil kain sarung dan merebahkan badan di lantai teras puncak menara berbantalkan sandal. Sekitar satu jam tertidur hujan pun turun membahasi tubuh kami, buru-buru bangun dan masuk kedalam mencari tempat yang pas untuk melanjutkan tidur. Beberapa teman saya terlelap tidur di basahi hujan, sengaja tidak saya bangunkan biar mereka tau dan merasakan bagaimana sengsaranya tidur bak karang di hempas gelombang, punahlah kalian gumamku sambil tertawa terbahak-bahak.

Paginya kami beranjak menuju pelabuhan Williams Torren yang hanya tinggal puing-puingnya rusak akibat hantaman gelombang Tsunami.
Untuk mempersiapkan makan siang kamipun membagi tugas, beberapa orang di tugaskan memasak nasi sebagian lagi menyelam memancing ikan. Yang menariknya, dua puluh meter dari pelabuhan Williams Torren ini terdapat sumur besar  peninggalan Kafe Belanda. Satu-satunya air tawar yang terdapat di pelabuhan tersebut. tapi sayang, kami tidak bisa memakai nya. Seekor monyet malang mengapung di dalamnya, punahlah manusianya (kata Monyet).

Padahal sumur belanda tersebut satu-satunya harapan kami untuk mencuci beras dan merebus indomie. Namun terkadang dalam keadaan mendesak (darurat) segala ide keluar dari otak kita, salah satunya otak teman saya zolgebe, ia mengeluarkan ilmu andalannya yang ia dapatkan ketika menonton salah satu Reality Show TV Champion Jepang di MNC TV,hahaa. Dengan mengambil beberapa jeruk nipis ia campurkan dengan air laut untuk mengurangi kadar garam serta mensterilkan kandungan zat hidrogen dalam air asin.

Demikianlah secuil kisah cerita perjalanan pertama saya ke Pulo Aceh, Insya Allah kalo di beri umur panjang saya akan berlabuh lagi.
Sebelum akhirnya kami kembali pulang dengan meninggalkan segala kenangan dan kebahagiaan.

NOTES:
  • Biaya transportasi ke Pulo Aceh Rp.15.000 + 15.000 apabila   membawa motor, sekali jalan dan juga dikenakan biaya angkat motor kekapal Rp.15.000 + 15.000 untuk menurunkan motor dari kapal
  • Jangan lupa membawa bekal makanan & minuman kalo anda ke Menara Mercusuar karna tidak ada kios disana. jin banyak hee
  • Masyarakat Pulo Aceh sangat Friendly


Comments
2 Comments

2 comments:

  1. Luar biasa perjalanan sahabatku... semoga masih ada seribu kisah menarik lainnya yang bisa engkau suguhan kepada kami.... memang meunyoe bak teumuleh droekeuh luar biasa that.. like it u story....

    ReplyDelete
  2. Hahaaa terima kasih. lon kira perjalanan droe neh lebih luar biasa lom.
    tengoh meurunoe tumuleh ngon. :D

    ReplyDelete