(Studi
Analisis terhadap Penetapan Mahkamah Syari'ah Sabang Nomor
07/Pdt.P/2007/Msy.SAB)
A. PENDAHULUAN
Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup
bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang lain
mengikatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur. Naluri untuk hidup bersama
ini dapat diwujudkan dengan dilakukan perkawinan yang di Indonesia diatur
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 19974 tentang Perkawinan. Perkawinan amat
penting bagi kehidupan manusia, baik perseorangan ataupun kelompok dengan
jalinan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara
terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai akhluk yang berkehormatan di antara
makhluk tuhan lainya.
Menurut hukum Islam,
perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dilakukan di
depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab kabul. Ijab
dicapkan pihak perempuan yang menurut kebanyakan fuqaha dilakukan oleh walinya
atau wakilnya, sedang kabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki.
Keharusan adanya seorang wali dalam pernikahan menjadi syarat dan rukun,
meskipun ada pendapat yang tidak mengharuskannya. Kedudukan wali dalam perkawinan
sebagian ulama menyebutkannya sebagai rukun dan sebagian lagi menyebutkannya
sebagai syarat. Perwalian hanya dijabat oleh keluarga laki-laki dari pengantin
wanita.
Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Ditetapkannya wali
nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu
sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya
perkawinan yang sah. Namun demikian dalam pelaksanaannya juga ditemukan
adanya perselisihan mengenai wali, di mana dalam praktek adakalanya perkawinan
yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri
tetapi ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipaham, yaitu
wali nikah atau walinya adhal atau enggan atau membangkang.
Padahal wali nikah adalah merupakan salah satu rukun nikah, dalam sabdanya
Rasulullah Saw mengatakan “Tidak ada Nikah tanpa wali” artinya perkawinan tidak
sah apabila tidak disetujui oleh walinya (Wali Akrob atau wali Ab’ad).
Terhadap hal ini tentunya memerlukan upaya penyelesaian melalui penetapan hakim
Pengadilan Agama atau Magkamah Syar’iyah. Hal inilah yang kemudian mendorong
dilakukannya penelaahan terhadap salah satu penetapan Mahkamah Syar’iyah
mengenai penyelesaian sengketa wali nikah, yaitu Penetapan Mahkamah Syar’iyah
Sabang Nomor 07/Pdt.P/2007/Msy.SAB.
B. KASUS POSISI
Dalam penetapan ini dimana Pemohon Rafiqah, Spd. Binti Ilyas, Umur
27 Tahun, warga Paya Seunara Kecamatan Sukakarya. Adapun yang menjadi duduk
perkaranya adalah Pemohon yang telah sampai umur untuk melaksanakan perkawinan,
namun rencana perkawinannya ditentang oleh pihak keluarga karena tidak
menyetujui calon suami yang dipilihnya. Namun ia tetap kukuh pada pendiriannya
dan kemudian atas saran kerabatnya mengajukan permohonan penetapan wali
nikah ke Mahkamah Syar’iyah Sabang.
Dalam kasus ini dapat digolongkan sebagai sengketa wali adhal karena pemohon
terpaksa mengajukan ke Mahkamah Syar’iyah karena pihak keluarga (ayah) tidak
mau menerima/keberatan menjadi wali dalam pernikahan tanpa alasan yang sah
padahal keduanya tidak ada halangan untuk menikah. Mejelis hakim kemudian
menetapkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukakarya sebagai Wali Hakim.
C. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelahaan dai berbagai literatur diketahui bahwa perkawinan
adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang
laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan,
untuk jangka waktu yang selama mungkin.[1]
Di samping itu perkawinan merupakan ikatan lahir
dan bathin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang telah dewasa
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi
menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.
Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami
istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak
dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Ikatan lahir dalam suatu
perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut
Undang-Undang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan pihak lain dalam
masyarakat, sedangkan ikatan batin, yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk
dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.
Menurut hukum Islam,
perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dilakukan di
depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab kabul. Ijab
dicapkan pihak perempuan yang menurut kebanyakan fuqaha dilakukan oleh walinya
atau wakilnya, sedang kabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki.
Keharusan adanya seorang wali dalam pernikahan menjadi syarat dan rukun,
meskipun ada pendapat yang tidak mengharuskannya. Kedudukan wali dalam
perkawinan sebagian ulama menyebutkannya sebagai rukun dan sebagian lagi
menyebutkannya sebagai syarat. Perwalian hanya dijabat oleh keluarga laki-laki
dari pengantin wanita.
Sementara pejabat Negara yang ditunjuk, dalam kaitan ini biasanya dilakukan
oleh aparat Kantor Urusan Agama (Kepala KUA atau PPN) bisa menjadi wali
pengganti jika wali nasabnya berhalangan, dengan sebutan wali hakim. Mengenai
wali nikah , ia merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak
untuk menikahkannya. Adapun yang menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat menurut hukum Islam, yakni muslim, akil, dan baligh. Wali
nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Ditetapkannya wali nikah
sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu
sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya
perkawinan yang berhasil.
Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut syariat Islam sebagai
penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri, yang diberikan
oleh Islam khusus untuk manusia. Dalam hukum Islam, perkawinan harus
dilaksanakan dengan memenuhi rukun dan syarat perkawinan, untuk melaksanakan
perkawinan harus ada calon suami; calon isteri; wali nikah; dua orang saksi
dan; ijab serta kabul, jelasnya perkawinan tidak sah apabila salah satu dari 5
hal di atas tidak terpenuhi.
Selanjutnya Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di tingkat Kecamatan di samping
mempunyai tugas untuk melakukan pencatatan nikah, juga dituntut untuk dapat
meyelesaikan permasalahan yang timbul mengenai perkara-perkara yang berhubungan
dengan keabsahan pernikahan, baik itu menyangkut permasalahan wali, calon
pengantin maupun syarat-syarat lain .Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah
pegawai pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. PPN juga harus segera
menyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila timbul sengketa antara
pihak-pihak yang berkaitan dengan sahnya pernikahan seperti adanya sengketa
wali Adhal.
Wali Adhal adalah wali calon pengantin wanita, (ayah, kakek,
saudara laki-laki atau kelompok wali akrob) yang enggan untuk
menikahkan calon pengantin karena alasan-alasan tertentu. Adakalanya perkawinan
yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri
tetapi ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipaham, yaitu
wali nikah, padahal wali nikah adalah merupakan salah satu rukun nikah, dalam
sabdanya Rasulullah Saw mengatakan “Tidak ada Nikah tanpa wali” artinya
perkawinan tidak sah apabila tidak disetujui oleh walinya (Wali Akrob atau
wali Ab’ad).
Apabila wali nikahnya tidak setuju, dapat dipastikan akan terjadi sengketa
dalam pelaksanaan pencatatan perkawinan, dan pihak pencatat atau Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) akan menolak melakukan pencatatan, maka ada dua pilihan
untuk menyelesaikan sengketa tersebut, pilihan yang pertama yaitu melalui
madiasi atau tabayun kepada Wali nikah, agar wali nikah setuju dan mau menjadi
wali nikah atau jalan kedua apabila jalan pertama menemui kebuntuan, yakni
mengajukan sengketa antara calon pengantin dan walinya, kepada Pengadilan Agama
(PA) atau Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh untuk mendapat putusan bahwa
walinya Adhal atau enggan atau membangkang.
Apabila dianalisis mengenai kasus tersebut diketahui bahwa faktor penyebab
terjadinya sengketa wali Adhal dalam pelaksanaan
perkawinan karena faktor perbedaan suku bangsa, berbeda agama,
tidak sederajat dalam kehidupan sosial ekonomi dan mempelai laki-laki tidak diketahui
dengan jelas mengenai asal usulnya Akibat hukum yang timbul adalah terjadi
perselisihan hingga sampai ke Mahkamah Syar’iyah sehingga pelaksanaan
perkawinan harus melalui wali hakim dengan penetapan apabila perselisihan tidak
dapat diselesaikan secara mediasi dan musyawarah dengan perantaraan Pegawai
Pencatat Nikah atau BP4 Kecamatan.
Pelaksanaan penyelesaian sengketa wali Adhal dalam pelaksanaan
perkawinan di Kota Sabang, pada awalnya dilakukan koordinasi dengan BP4
kecamatan dan Keuchik gampong wilayah di mana mempelai berdomisili selanjutnya
diupayakan untuk dilakukan mediasi atau tabbayun. Dalam hal mediasi berhasil
maka pernikahan dapat dilanjutkan sampai ke pencatatan, namun apabila mediasi
gagal dilakukan maka diajukan permohonan ke Mahkamah Syar’iyah untuk memperoleh
penetapan wali hakim dari Mahkamah Syar’iyah.
Menurut analisis penulis kasus wali adhal yang sampai ke
Mahkamah Syar’iyah, sebenarnya menimbulkan dampak psikologis, baik bagi calon
pengantin, wali dan dua keluarga besar, yaitu keluarga calon pengantin
perempuan maupun keluarga calon pengantin laki-laki. Hal itu tentu saja sangat
bertentangan dengan tujuan perkawinan sebagaimana disebut dalam Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Di samping itu, kasus pernikahan wali adlal yang berakhir di Pengadilan
Agama, juga akan menambah beban finansial bagi calon mempelai yang pada
akhirnya akan ditanggung oleh calon mempelai, belum lagi waktu yang tersita
untuk berperkara di Mahkamah Syar’iyah.
Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal seperti itu dan untuk lebih
memantapkan suatu persiapan perkawinan, pihak PPN, Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah (P3N), ataupun Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan
(BP4) selalu membimbing masyarakat agar dalam merencanakan perkawinan.
D. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelaahan terhadap jelaslah
diketahui sengketa wali adhal adalah sengketa yang timbul akibat adanya
wali yang membangkang atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagai wali dalam
sebuah perkawinan. Terhadap kondisi tersebut apabila tidak ada halangan untuk
kawin para pihak dalam perkawinan dalam mengajukan permohonan ke Mahkamah
Syar’iyah. Dengan kata lain melalui penetapan pengadilan/Mahkamah Syar’iyah,
para pihak dapat melakukan perkawinan dengan bantuan wali hakim yang dalam
pelaksanaanya ditunjuk Peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Dengan kata lain, Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam selain sebagai pelaksana
pencatatan perkawinan dalam penyelesaian sengketa wali Adhal pada
pelaksanaan perkawina adalah, Pertama, PPN bertindak sebagai
mediator dalam penyelesaian konflik antara calon mempelai dengan walinya. Kedua,
PPN berperan sebagai Pegawai Pencatat Nikah dan juga bertindak mewakili
menikahkan calon mempelai atas kehendak dan persetujuan wali nikah. Ketiga,
setelah ada penetapan wali adlal dari Pengadilan Agama, PPN berperan sebagai
Pegawai Pencatat Nikah sekaligus sebagai wali, yakni wali hakim, karena wali
nikah tidak mau bertindak sebagai wali, enggan atau membangkang (adlal).
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa melalui penetapan hakim dengan menunjuk
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagai wali hakim. Hal ini dapat menjadi pedoman
bagi hakim lainnya dalam mengatasi dan menyelesaikan perselisihan mengenai wali
nikah di kemudian hari, dimana hakim dapat menunjukkan Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) sebagai wali hakim.
Oleh karena itu, kepada para pihak sebelum menyampaikan kehendak menikah agar
lebih dahulu mempersiapkan persyaratan yang diperlukan termasuk izin dan
kesedian wali nikah serta mengikuti prosedur pelaksanaan perkawinan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Kepada wali agar tidak egois dalam mengambil
keputusan untuk tidak bersedia menikahkan karena dapat saja menimbulkan
kerugian bagi dirin sendiri maupunkedua mempelai kecuali ada lasan yang sah.
Kepada Pegawai Pencatat Nikah yang ditunjuk sebagai wali hakim, agar dapat
memberikan sosialisasi tentang pentingnya wali dalam pelaksanaan perkawinan dan
dalam melaksanakan perkawinan perlu memenuhi semua persyaratan yang berlaku.
Kepada instansi terkait, khususnya pejabat Departemen Agama agar dapat
meningkatkan penyuluhan hukum terhadap masyarakat tentang pentingnya wali nikah
dalam melancarkan prosedur pernikahan, agar masyarakat mengetahui fungsi dari
wali nikah dalam kelancaran dan keabsahan perkawinan.
0 Komentar:
Post a Comment