Friday, December 9, 2011

Penetapan Wali Hakim Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dalam Pelaksanaan Perkawinan



(Studi Analisis terhadap Penetapan Mahkamah Syari'ah Sabang Nomor 07/Pdt.P/2007/Msy.SAB)

A. PENDAHULUAN
              Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengikatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur. Naluri untuk hidup bersama ini dapat diwujudkan dengan dilakukan perkawinan yang di Indonesia diatur dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 19974 tentang Perkawinan. Perkawinan amat penting bagi kehidupan manusia, baik perseorangan ataupun kelompok dengan jalinan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai akhluk yang berkehormatan di antara makhluk tuhan lainya.
              Menurut hukum Islam, perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab kabul. Ijab dicapkan pihak perempuan yang menurut kebanyakan fuqaha dilakukan oleh walinya atau wakilnya, sedang kabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki.
              Keharusan adanya seorang wali dalam pernikahan menjadi  syarat dan rukun, meskipun ada pendapat yang tidak mengharuskannya. Kedudukan wali dalam perkawinan sebagian ulama menyebutkannya sebagai rukun dan sebagian lagi menyebutkannya sebagai syarat. Perwalian hanya dijabat oleh keluarga laki-laki dari pengantin wanita.
              Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya perkawinan yang sah.  Namun demikian dalam pelaksanaannya juga ditemukan adanya perselisihan mengenai wali, di mana dalam praktek adakalanya perkawinan yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri tetapi ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipaham, yaitu wali nikah atau walinya adhal atau enggan atau membangkang.
              Padahal wali nikah adalah merupakan salah satu rukun nikah, dalam sabdanya Rasulullah Saw mengatakan “Tidak ada Nikah tanpa wali” artinya perkawinan tidak sah apabila tidak disetujui oleh walinya (Wali Akrob atau wali Ab’ad). Terhadap hal ini tentunya memerlukan upaya penyelesaian melalui penetapan hakim Pengadilan Agama atau Magkamah Syar’iyah. Hal inilah yang kemudian mendorong dilakukannya penelaahan terhadap salah satu penetapan Mahkamah Syar’iyah mengenai penyelesaian sengketa wali nikah, yaitu Penetapan Mahkamah Syar’iyah Sabang Nomor 07/Pdt.P/2007/Msy.SAB.

B.    KASUS POSISI
              Dalam penetapan ini dimana  Pemohon  Rafiqah, Spd. Binti Ilyas, Umur 27 Tahun, warga Paya Seunara Kecamatan Sukakarya. Adapun yang menjadi duduk perkaranya adalah Pemohon yang telah sampai umur untuk melaksanakan perkawinan, namun rencana perkawinannya ditentang oleh pihak keluarga karena tidak menyetujui calon suami yang dipilihnya. Namun ia tetap kukuh pada pendiriannya dan kemudian atas saran kerabatnya mengajukan permohonan penetapan wali  nikah ke Mahkamah Syar’iyah Sabang.
              Dalam kasus ini dapat digolongkan sebagai sengketa wali adhal karena pemohon terpaksa mengajukan ke Mahkamah Syar’iyah karena pihak keluarga (ayah) tidak mau menerima/keberatan menjadi wali dalam pernikahan tanpa alasan yang sah padahal keduanya tidak ada halangan untuk menikah. Mejelis hakim kemudian menetapkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukakarya sebagai Wali Hakim.

C. PEMBAHASAN
              Berdasarkan hasil penelahaan dai berbagai literatur diketahui bahwa perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.[1] 
Di samping itu perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang telah dewasa menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.
              Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan.   Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut Undang-Undang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin, yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.
          Menurut hukum Islam, perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab kabul. Ijab dicapkan pihak perempuan yang menurut kebanyakan fuqaha dilakukan oleh walinya atau wakilnya, sedang kabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki.
              Keharusan adanya seorang wali dalam pernikahan menjadi  syarat dan rukun, meskipun ada pendapat yang tidak mengharuskannya. Kedudukan wali dalam perkawinan sebagian ulama menyebutkannya sebagai rukun dan sebagian lagi menyebutkannya sebagai syarat. Perwalian hanya dijabat oleh keluarga laki-laki dari pengantin wanita.
              Sementara pejabat Negara yang ditunjuk, dalam kaitan ini biasanya dilakukan oleh aparat Kantor Urusan Agama (Kepala KUA atau PPN) bisa menjadi wali pengganti jika wali nasabnya berhalangan, dengan sebutan wali hakim. Mengenai wali nikah , ia merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Adapun yang menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat menurut hukum Islam, yakni muslim, akil, dan baligh. Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya perkawinan yang berhasil.
              Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut syariat Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri, yang diberikan oleh Islam khusus untuk manusia. Dalam hukum Islam, perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi rukun dan syarat perkawinan, untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami; calon isteri; wali nikah; dua orang saksi dan; ijab serta kabul, jelasnya perkawinan tidak sah apabila salah satu dari 5 hal di atas tidak terpenuhi.
              Selanjutnya Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di tingkat Kecamatan di samping mempunyai tugas untuk melakukan pencatatan nikah, juga dituntut untuk dapat meyelesaikan permasalahan yang timbul mengenai perkara-perkara yang berhubungan dengan keabsahan pernikahan, baik itu menyangkut permasalahan wali, calon pengantin maupun syarat-syarat lain .Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah pegawai pada Kantor Urusan Agama Kecamatan.  PPN juga harus segera menyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila timbul sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan sahnya pernikahan seperti adanya sengketa wali Adhal.
              Wali Adhal adalah wali calon pengantin wanita, (ayah, kakek, saudara laki-laki atau kelompok wali akrob) yang enggan untuk menikahkan calon pengantin karena alasan-alasan tertentu. Adakalanya perkawinan yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri tetapi ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipaham, yaitu wali nikah, padahal wali nikah adalah merupakan salah satu rukun nikah, dalam sabdanya Rasulullah Saw mengatakan “Tidak ada Nikah tanpa wali” artinya perkawinan tidak sah apabila tidak disetujui oleh walinya (Wali Akrob atau wali Ab’ad).
              Apabila wali nikahnya tidak setuju, dapat dipastikan akan terjadi sengketa dalam pelaksanaan pencatatan perkawinan, dan pihak pencatat atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN) akan menolak melakukan pencatatan, maka ada dua pilihan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, pilihan yang pertama yaitu melalui madiasi atau tabayun kepada Wali nikah, agar wali nikah setuju dan mau menjadi wali nikah atau jalan kedua apabila jalan pertama menemui kebuntuan, yakni mengajukan sengketa antara calon pengantin dan walinya, kepada Pengadilan Agama (PA) atau Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh untuk mendapat putusan bahwa walinya Adhal atau enggan atau membangkang.
             Apabila dianalisis mengenai kasus tersebut diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya sengketa wali Adhal dalam pelaksanaan perkawinan  karena faktor perbedaan suku bangsa,  berbeda agama, tidak sederajat dalam kehidupan sosial ekonomi dan mempelai laki-laki tidak diketahui dengan jelas mengenai asal usulnya Akibat hukum yang timbul adalah terjadi perselisihan hingga sampai ke Mahkamah Syar’iyah sehingga pelaksanaan perkawinan harus melalui wali hakim dengan penetapan apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan secara mediasi dan musyawarah dengan perantaraan Pegawai Pencatat Nikah atau BP4 Kecamatan.
             Pelaksanaan penyelesaian sengketa wali Adhal dalam pelaksanaan perkawinan  di Kota Sabang, pada awalnya dilakukan koordinasi dengan BP4 kecamatan dan Keuchik gampong wilayah di mana mempelai berdomisili selanjutnya diupayakan untuk dilakukan mediasi atau tabbayun. Dalam hal mediasi berhasil maka pernikahan dapat dilanjutkan sampai ke pencatatan, namun apabila mediasi gagal dilakukan maka diajukan permohonan ke Mahkamah Syar’iyah untuk memperoleh penetapan wali hakim dari Mahkamah Syar’iyah.
Menurut analisis penulis kasus wali adhal yang sampai ke Mahkamah Syar’iyah, sebenarnya menimbulkan dampak psikologis, baik bagi calon pengantin, wali dan dua keluarga besar, yaitu keluarga calon pengantin perempuan maupun keluarga calon pengantin laki-laki. Hal itu tentu saja sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan sebagaimana disebut dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang  wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Di samping itu, kasus pernikahan wali adlal yang berakhir di Pengadilan Agama, juga akan menambah beban finansial bagi calon mempelai yang pada akhirnya akan ditanggung oleh calon mempelai, belum lagi waktu yang tersita untuk berperkara di Mahkamah Syar’iyah.
Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal seperti itu dan untuk lebih memantapkan suatu persiapan perkawinan, pihak PPN, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), ataupun Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) selalu membimbing masyarakat agar dalam merencanakan perkawinan. 

D. PENUTUP    
               Berdasarkan hasil penelaahan terhadap jelaslah diketahui  sengketa wali adhal adalah sengketa yang timbul akibat adanya wali yang membangkang atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagai wali dalam sebuah perkawinan. Terhadap kondisi tersebut apabila tidak ada halangan untuk kawin para pihak dalam perkawinan dalam mengajukan permohonan ke Mahkamah Syar’iyah. Dengan kata lain melalui penetapan pengadilan/Mahkamah Syar’iyah, para pihak dapat melakukan perkawinan dengan bantuan wali hakim yang dalam pelaksanaanya ditunjuk Peranan Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
              Dengan kata lain, Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam selain sebagai pelaksana pencatatan perkawinan dalam penyelesaian sengketa wali Adhal pada pelaksanaan perkawina adalah, Pertama, PPN bertindak sebagai mediator dalam penyelesaian konflik antara calon mempelai dengan walinya. Kedua, PPN berperan sebagai Pegawai Pencatat Nikah dan juga bertindak mewakili menikahkan calon mempelai atas kehendak dan persetujuan wali nikah. Ketiga, setelah ada penetapan wali adlal dari Pengadilan Agama, PPN berperan sebagai Pegawai Pencatat Nikah sekaligus sebagai wali, yakni wali hakim, karena wali nikah tidak mau bertindak sebagai wali, enggan atau membangkang (adlal).
              Dengan demikian, dapat diketahui bahwa melalui penetapan hakim dengan menunjuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagai wali hakim. Hal ini dapat menjadi pedoman bagi hakim lainnya dalam mengatasi dan menyelesaikan perselisihan mengenai wali nikah di kemudian hari, dimana hakim dapat menunjukkan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagai wali hakim. 
              Oleh karena itu, kepada para pihak sebelum menyampaikan kehendak menikah agar lebih dahulu mempersiapkan persyaratan yang diperlukan termasuk izin dan kesedian wali nikah serta mengikuti prosedur pelaksanaan perkawinan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kepada wali agar tidak egois dalam mengambil keputusan untuk tidak bersedia menikahkan karena dapat saja menimbulkan kerugian bagi dirin sendiri maupunkedua mempelai kecuali ada lasan yang sah. Kepada Pegawai Pencatat Nikah yang ditunjuk sebagai wali hakim, agar dapat memberikan sosialisasi tentang pentingnya wali dalam pelaksanaan perkawinan dan dalam melaksanakan perkawinan perlu memenuhi semua persyaratan yang berlaku. Kepada instansi terkait, khususnya pejabat Departemen Agama agar dapat meningkatkan penyuluhan hukum terhadap masyarakat tentang pentingnya wali nikah dalam melancarkan prosedur pernikahan, agar masyarakat mengetahui fungsi dari wali nikah dalam kelancaran dan keabsahan perkawinan.


[1]Rien G. Kartaapoetra, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 97.



0 Komentar:

Post a Comment