A.
Latar Belakang Masalah
Undang-undang Perkawinan di nyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
di lakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping
itu tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan perundang undangan
yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran,
kematian yang di nyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang
juga dimuat dalam daftar pencatatan
Undang-undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama memberi kewenangan kepada peradilan
agama untuk menangani masalah perkawinan seperti perceraian. Bagi seseorang
yang ingin melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa ia dan
pasangannya tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri.
Seseorang
yang beragama Islam merasa bahwa perkawinannya tidak dapat di pertahankan lagi
dan memutuskan untuk bercerai, maka sesuai dengan undang-undang peradilan agama
tersebut, langkah yang dapat ditempuh adalah permintaan cerai kepada pengadilan
agama. Menurut Drs. Syarif Utsman ,”dengan mengutip ketentuan UU Perkawinan
tahun 1974 dan UU Peradilan Agama tahun 1989, bahwa perceraian hanya dapat di lakukan
di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak”.
Peraturan yang telah di buat tersebut merupakan
cerminan dari aspirasi seluruh rakyat Indonesia, namun ketika di hadapkan
kepada realita yang terjadi peraturan yang ada tersebut terkadang tidak bisa
menghadapi kasus konkrit seperti halnya bagaimana pandangan tentang status
perkawinan secara Islam yang tidak di daftarkan dan begitu juga dengan
perceraiannya.
A.
Rumusan Masalah
Bagaimana hukum
menjatuhkan talak di bawah tangan dan menjatuhkan talak di depan sidang
pengadilan menurut hukum Islam.?
C. Tinjauan Teoritis
Perkara cerai talak yang di ajukan seorang
suami terhadap isterinya, sementara suaminya sebenarnya telah menceraikan
isterinya secara liar (di bawah tangan) sebanyak tiga kali yang di jatuhkan
terpisah dalam tiga kali kejadian. Dalam persidangan, keduanya berkeinginan
rujuk kembali karena mengingat masa depan anak-anak.
Bagaimana cara Pengadilan menjatuhkan
putusan. Bila Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan
bertentangan dengan hati nurani karena mereka telah menjatuhkan talak dengan
tata cara syariat Islam.
Seandainya Pengadilan memberi putusan agar
suami menjatuhkan talak yang ketiga, maka akan kuat dugaan mereka tidak akan
datang dalam persidangan.
Dalam ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dan pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor. 9 tahun 1975.
bahwa, talak di luar Pengadilan tidak sah.
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode pendekatan
Yuridis Normatif yaitu berusaha untuk menemukan dan mentelaah norma-norma hukum
baik dalam hukum Islam dalam materi Perbandingan Mazhab maupun dalam hukum
positif di Indonesia berkaitan dengan masalah cerai talak.
B. PEMBAHASAN
Hakim dalam memeriksa perkara haruslah bijaksana. Dari satu sisi
sebagai muslim hukum fikih yang berjalan dan hidup di tengah-tengah masyarakat
muslim perlu mendapat apresiasi, karena sebagai muslim yang patuh terhadap
ajaran agamanya perlu mendukung hukum yang hidup di masyarakat terutama sekali
hukum syari’ah. Dari sisi lain sebagai muslim plus sebagai hakim Negara wajib
untuk menegakkan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia
termasuk Undang-undang dan peraturan lain tentang perkawinan.
Dalam Islam seorang suami yang akan menceraikan/mentalak
isterinya haruslah mengetahui rukun dan syarat dalam melakukan talak terhadap
isteri yang akan diceraikannya.
Kalangan ahli fikih kontemporer seperti Muhammad Abu Zahra, Ali
Hasbalah, Ali Al-Khalif, Mustafa As-Siba’i , Mustafa Ahmad az Zarqa, Abdur
Rahman As-Sabuni dan Sayid Sabiq berpendapat bahwa kesaksian dalam talak sangat
logis, sehingga terjadi keseimbangan (tawazun) kepentingan kesaksian dalam
masalah perkawinan dan perceraian.
Para ahli fikih sebutkan di atas berpendapat bahwa “dalam
perubahan situasi dan kondisi yang diakibatkan perkembangan zaman, persoalan
saksi semakin penting karena tanggung jawab religius masing-masing suami
semakin melemah, sehingga dikhawatirkan talak tersebut dapat digunakan secara
sewenang-wenang.” [1]
UU. No.1/1974, PP. No.9/1975 dan KHI tidak mentolerir adanya
perceraian di bawah tangan, hal itu dimaksudkan agar seorang suami tidak
semena-mena menceraikan isterinya tanpa adanya aturan yang harus dipedomani.
Lalu bagaimana tindakan hakim dalam memproses perkara tersebut?.
Karena yang diajukan itu ada beberapa pertanyaan maka solusinya sebagai
berikut:
1.
Sesuai
hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan bahwa
selama perkara yang diajukan oleh pihak-pihak berperkara belum diputus, maka
kewajiban hakim untuk mengusahakan perdamaian secara maksimal.
Pasal
69 UU No.1/1974 menjelaskan bahwa : “ Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini
berlaku ketentuan-ketentuan pasal 79,pasal 80 ayat (2), pasal 82 dan pasal 83.
Pasal
82 UU no.1/1974 ayat (4) UU No.1/1974 berbunyi sebagai berikut:
“Selama
perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan”.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata
“mendamaikan” berarti menyelesaikan permusuhan (pertengkaran dan sebagainya)
supaya kedua pihak berbaik kembali. [2]
Kasus yang dikemukakan tersebut jelas bahwa kedua belah pihak
berperkara akan mengakhiri berperkara di Mahkamah Syar’iyah (bisa dibaca
Pengadilan Agama), apakah tindakan pihak-pihak tersebut atas prakarsa atau
upaya hakim dalam mendamaikan, ataukah karena inisiatif pihak-pihak sendiri
mengingat anak-anaknya perlu mendapat perhatian dari orang tuanya. Apalagi
kalau pihak Termohon/isteri datang dalam persidangan, maka hakim sebelum
melanjutkan pemeriksaan menyarankan agar pihak-pihak menempuh proses mediasi
sesuai amanat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2008.
Kesimpulannya, apabila tercapai perdamaian maka perkara
perceraian tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat penetapan yang menyatakan
perkara telah dicabut karena perdamaian dan menyatakan demi hukum (positif)
para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Akta Nikah yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang bersangkutan, di mana
mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat
dimintakan upaya hukum. (Mujahidin 2008:172)
2.
Talak
tiga yang sesuai dengan tata cara syari’at yang sempat diucapkan oleh pihak
suami terhadap isterinya (diluar sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama)
itu bukanlah wewenang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama justeru Pengadilan
tidak mentolerirnya, karena perceraian bisa terjadi bila dilakukan di depan
sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama.
Pasal 65 UU No.1/1974 “.
3.
Benarkah
bila Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan
bertentangan dengan hati nurani ? karena mereka telah menjatuhkan talak dengan
tata cara syariat Islam. Menurut pasal 65 dan 82 UU No.1/1974 jo pasal `115 KHI
bahwa sebelum perkara (perkawinan) belum final/diberi putusan maka hakim wajib
untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara.
Dalam mendamaikan
bukan berarti bahwa hakim hanya berusaha agar pihak-pihak mengakhiri
sengketanya dengan harapan dapat kembali rukun, damai tetapi mendamaikan
diartikan lebih dari itu, termasuk di dalamnya upaya mendamaikan itu hakim
menasehati dan memberi arahan kepada kedua belah pihak yang akan mengakhiri
sengketanya, termasuk memberi arahan kepada pihak-pihak terutama sekali kepada
suami yang telah menjatuhkan talak nya secara liar.
Karena Pemohon
telah menjatuhkan talaknya yang ketiga secara liar/di bawah tangan (talak bain
kubra), maka hakim atau mediator memberi nasehat-nasehat kepada pihak-pihak
bahwa secara fikih.
C. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari tulisan tersebut di atas maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa:
1.
Talak
yang diucapkan di luar persidangan Pengadilan merupakan talak liar,
keabsahannya secara hukum tidak sah karena dianggap tidak pernah terjadi
perceraian.
2.
Perceraian/talak
yang dijatuhkan atau diucapkan melalui putusan atau dalam sidang Pengadilan
dimaksudkan untuk membela hak kewajiban, status suami isteri secara hukum,
sekaligus memberi pendidikan hukum agar perceraian/talak tidak sewenang-wenang
dilakukan tanpa adanya proses, pembuktian-pembuktian.
B.
Saran
1.
Sebagai hakim muslim perlu memberi pengertian kepada pihak-pihak yang
telah menjatuhkan talak di luar persidangan
2.
Hakim atau Pengadilan perlu memberikan pendidikan hukum agar
perceraian/talak tidak sewenang-wenang dilakukan tanpa adanya proses atau pembuktian.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Rifa’I. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif
Hukum Progresif. Cet I. Sinar
Grafika Offset. 2010
Sudikno
Mertokusumo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.1993
………………………….., Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009
Abdul Azis Dahlan
(et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar
Baru van Hoeve, Jakarta, 1996
Adam Kuper dan
Jessica Kuper, Ensiklopedia
Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Rajawali
Pers, Jakarta, 2000
W.J.S Poerwadarminta. Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. 1982
Rafiq
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Cet
I. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada,
1995 Sayyid
Sabiq, Fiqh Al-Sunnah. Dar Al-Fakir.
Bairut Libanon. 1975
Ø
Kompilasi
Hukum Islam
Ø
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974
Ø
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
0 Komentar:
Post a Comment