Friday, December 30, 2011

Kajian Sosiologis tentang Talak di Bawah Tangan di Tinjau dari UU Perkawinan no 1 tahun 1974 dan PP No 9 Tahun 1975 dengan Hukum Islam


A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Perkawinan di nyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana di lakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang di nyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama memberi kewenangan kepada peradilan agama untuk menangani masalah perkawinan seperti perceraian. Bagi seseorang yang ingin melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa ia dan pasangannya tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri.
Seseorang yang beragama Islam merasa bahwa perkawinannya tidak dapat di pertahankan lagi dan memutuskan untuk bercerai, maka sesuai dengan undang-undang peradilan agama tersebut, langkah yang dapat ditempuh adalah permintaan cerai kepada pengadilan agama. Menurut Drs. Syarif Utsman ,”dengan mengutip ketentuan UU Perkawinan tahun 1974 dan UU Peradilan Agama tahun 1989, bahwa perceraian hanya dapat di lakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak”.
Peraturan yang telah di buat tersebut merupakan cerminan dari aspirasi seluruh rakyat Indonesia, namun ketika di hadapkan kepada realita yang terjadi peraturan yang ada tersebut terkadang tidak bisa menghadapi kasus konkrit seperti halnya bagaimana pandangan tentang status perkawinan secara Islam yang tidak di daftarkan dan begitu juga dengan perceraiannya.

A. Rumusan Masalah
Bagaimana hukum menjatuhkan talak di bawah tangan dan menjatuhkan talak di depan sidang pengadilan menurut hukum Islam.?

C. Tinjauan Teoritis
      Perkara cerai talak yang di ajukan seorang suami terhadap isterinya, sementara suaminya sebenarnya telah menceraikan isterinya secara liar (di bawah tangan) sebanyak tiga kali yang di jatuhkan terpisah dalam tiga kali kejadian. Dalam persidangan, keduanya berkeinginan rujuk kembali karena mengingat masa depan anak-anak.
      Bagaimana cara Pengadilan menjatuhkan putusan. Bila Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan bertentangan dengan hati nurani karena mereka telah menjatuhkan talak dengan tata cara syariat Islam.
      Seandainya Pengadilan memberi putusan agar suami menjatuhkan talak yang ketiga, maka akan kuat dugaan mereka tidak akan datang dalam persidangan.
Dalam ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor. 9 tahun 1975. bahwa, talak di luar Pengadilan tidak sah.
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif yaitu berusaha untuk menemukan dan mentelaah norma-norma hukum baik dalam hukum Islam dalam materi Perbandingan Mazhab maupun dalam hukum positif di Indonesia berkaitan dengan masalah cerai talak.

B. PEMBAHASAN
Hakim dalam memeriksa perkara haruslah bijaksana. Dari satu sisi sebagai muslim hukum fikih yang berjalan dan hidup di tengah-tengah masyarakat muslim perlu mendapat apresiasi, karena sebagai muslim yang patuh terhadap ajaran agamanya perlu mendukung hukum yang hidup di masyarakat terutama sekali hukum syari’ah. Dari sisi lain sebagai muslim plus sebagai hakim Negara wajib untuk menegakkan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Undang-undang dan peraturan lain tentang perkawinan.
Dalam Islam seorang suami yang akan menceraikan/mentalak isterinya haruslah mengetahui rukun dan syarat dalam melakukan talak terhadap isteri yang akan diceraikannya.
Kalangan ahli fikih kontemporer seperti Muhammad Abu Zahra, Ali Hasbalah, Ali Al-Khalif, Mustafa As-Siba’i , Mustafa Ahmad az Zarqa, Abdur Rahman As-Sabuni dan Sayid Sabiq berpendapat bahwa kesaksian dalam talak sangat logis, sehingga terjadi keseimbangan (tawazun) kepentingan kesaksian dalam masalah perkawinan dan perceraian.
Para ahli fikih sebutkan di atas berpendapat bahwa “dalam perubahan situasi dan kondisi yang diakibatkan perkembangan zaman, persoalan saksi semakin penting karena tanggung jawab religius masing-masing suami semakin melemah, sehingga dikhawatirkan talak tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang.” [1]
UU. No.1/1974, PP. No.9/1975 dan KHI tidak mentolerir adanya perceraian di bawah tangan, hal itu dimaksudkan agar seorang suami tidak semena-mena menceraikan isterinya tanpa adanya aturan yang harus dipedomani.
Lalu bagaimana tindakan hakim dalam memproses perkara tersebut?. Karena yang diajukan itu ada beberapa pertanyaan maka solusinya sebagai berikut:
1.    Sesuai hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan bahwa selama perkara yang diajukan oleh pihak-pihak berperkara belum diputus, maka kewajiban hakim untuk mengusahakan perdamaian secara maksimal.
Pasal 69 UU No.1/1974 menjelaskan bahwa : “ Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan pasal 79,pasal 80 ayat (2), pasal 82 dan pasal 83.
Pasal 82 UU no.1/1974 ayat (4) UU No.1/1974 berbunyi sebagai berikut:
“Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”.
         Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “mendamaikan” berarti menyelesaikan permusuhan (pertengkaran dan sebagainya) supaya kedua pihak berbaik kembali. [2]
Kasus yang dikemukakan tersebut jelas bahwa kedua belah pihak berperkara akan mengakhiri berperkara di Mahkamah Syar’iyah (bisa dibaca Pengadilan Agama), apakah tindakan pihak-pihak tersebut atas prakarsa atau upaya hakim dalam mendamaikan, ataukah karena inisiatif pihak-pihak sendiri mengingat anak-anaknya perlu mendapat perhatian dari orang tuanya. Apalagi kalau pihak Termohon/isteri datang dalam persidangan, maka hakim sebelum melanjutkan pemeriksaan menyarankan agar pihak-pihak menempuh proses mediasi sesuai amanat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2008.
Kesimpulannya, apabila tercapai perdamaian maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat penetapan yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan menyatakan demi hukum (positif) para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang bersangkutan, di mana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya hukum. (Mujahidin 2008:172)
2.    Talak tiga yang sesuai dengan tata cara syari’at yang sempat diucapkan oleh pihak suami terhadap isterinya (diluar sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama) itu bukanlah wewenang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama justeru Pengadilan tidak mentolerirnya, karena perceraian bisa terjadi bila dilakukan di depan sidang Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama.
Pasal 65 UU No.1/1974 “.
3.    Benarkah bila Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan bertentangan dengan hati nurani ? karena mereka telah menjatuhkan talak dengan tata cara syariat Islam. Menurut pasal 65 dan 82 UU No.1/1974 jo pasal `115 KHI bahwa sebelum perkara (perkawinan) belum final/diberi putusan maka hakim wajib untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara.
         Dalam mendamaikan bukan berarti bahwa hakim hanya berusaha agar pihak-pihak mengakhiri sengketanya dengan harapan dapat kembali rukun, damai tetapi mendamaikan diartikan lebih dari itu, termasuk di dalamnya upaya mendamaikan itu hakim menasehati dan memberi arahan kepada kedua belah pihak yang akan mengakhiri sengketanya, termasuk memberi arahan kepada pihak-pihak terutama sekali kepada suami yang telah menjatuhkan talak nya secara liar.
         Karena Pemohon telah menjatuhkan talaknya yang ketiga secara liar/di bawah tangan (talak bain kubra), maka hakim atau mediator memberi nasehat-nasehat kepada pihak-pihak bahwa secara fikih.

C. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari tulisan tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa:
1.      Talak yang diucapkan di luar persidangan Pengadilan merupakan talak liar, keabsahannya secara hukum tidak sah karena dianggap tidak pernah terjadi perceraian.
2.      Perceraian/talak yang dijatuhkan atau diucapkan melalui putusan atau dalam sidang Pengadilan dimaksudkan untuk membela hak kewajiban, status suami isteri secara hukum, sekaligus memberi pendidikan hukum agar perceraian/talak tidak sewenang-wenang dilakukan tanpa adanya proses, pembuktian-pembuktian.

B.  Saran
1.    Sebagai hakim muslim perlu memberi pengertian kepada pihak-pihak yang telah menjatuhkan talak di luar persidangan
2.    Hakim atau Pengadilan perlu memberikan pendidikan hukum agar perceraian/talak tidak sewenang-wenang dilakukan tanpa adanya proses atau pembuktian.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rifa’I. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Cet I. Sinar Grafika Offset. 2010
Sudikno Mertokusumo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.1993
………………………….., Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009
Abdul Azis Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1996
Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Rajawali Pers, Jakarta, 2000
W.J.S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. 1982

Rafiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Cet I. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 1995 Sayyid 
Sabiq, Fiqh Al-Sunnah. Dar Al-Fakir. Bairut Libanon. 1975

Ø  Kompilasi Hukum Islam

Ø  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Ø  Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975





[1] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Intermasa, 1996. Hal1783
[2] W.J.S Poerwadarminta. 1982.Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. 1985. Hal.234

0 Komentar:

Post a Comment